Kamis, 25 Oktober 2012

SKALA PSIKOLOGI



Memasuki pertemuan ke-6 kali ini, kita akan sama-sama membahas materi skala Psikologi yang pada umumnya sering dikatakan sulit. Tak kenal maka tak sayang untuk itu mari kita sama-sama mengenal dulu apa itu skala Psikologi agar kita lebih mudah memahami  dan jauh dari kata sulit.

KARAKTERISTIK SKALA PSIKOLOGI
Skala Psikologi sering kali digunakan untuk mengukur aspek non kognitif, sedangkan aspek kognitif diukur dengan istilah tes. Secara fisik skala Psikologi dapat dikatakan sama dengan angket, daftar isian atau inventori, namun pada dasarnya ada perbedaan dan memiliki ciri-ciri khusus sebagai berikut :

  • Stimulus berupa pertanyaan / pernyataan yang tidak bersifat langsung mengungkap indicator prilaku dari atribut yang bersangkutan. Sehingga pertanyaannya bersifat tersamar atau stimulus yang tidak terstruktur. Dengan demikian jawaban subjek tergantung pada interpretasi subjek terhadap pernyataan/ pertanyaan tersebut dan jawabannya lebih bersifat proyektif, yaitu proyeksi dari perasaan atau kepribadiannya.
  • Skala Psikologi terdiri dari banyak item. Item-item tersebut dimaksudkan untuk mengukur indicator-indikator perilaku yang merupakan terjemahan dari atribut Psikologi yang menjadi sasaran ukur. Jawaban subjek terhadap suatu item baru merupakan sebgian dari sekian banyak indikasi mengenai atribut yang diukur, sedang kesimpulan akhir baru dapat diperoleh setelah semua item telah di respons.
  • Respons subjek tidak diklasifikasi sebagai jawaban benar atau salah. Semua jawaban dapat diterima sepanjang diberikan secara jujur dan sungguh-sungguh.


FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI VALIDITAS SKALA
Definisi validitas merupakan derajat ketepatan, ketelitian, kecermatan fungsi ukur. Atribut psikologis sebagai sasaran ukur tidak mempunyai eksistensi riil, karena itu untuk mencapai kecocokan atau kesesuaian antara alat ukurnya dengan sasaran ukurnya bukanlah hal yang mudah. Karena itu dalam pengukuran psikologis tak pernah mencapai validitas yang sempurna.

Validitas akan semakin rendah dalam penyusunannya apabila tidak sesuai dengan prosedur seperti :
  1. Identifikasi kawasan ukur yang kurang jelas. Hal ini menyebabkan kita hanya akan memiliki gambaran sasaran ukur  yang kabur tentang atribut yang menjadi sasaran ukur.
  2. Operasionalisasi konsep yang tidak tepat. Jika rumusan indicator-indikator prilaku ini tidak operasional, atau masih menimbulkan penafsiran ganda mengenai bentuk prilaku yang di inginkan atau sama sekali tidak mencerminkan konsep yang akan di ukur, maka akan melahirkan butir-butir atau item yang tidak valid.
  3. Penulisan item yang tidak mengikuti kaidah. Apabila kaidah penulisan item tidak diikuti secara tertib maka akan menghasilkan item skala yang tidak baik, item skala yang tidak baik akan menyebabkan kehilangan fungsi ukurnya.
  4. Administrasi skala yang tidak hati-hati. Walaupun skala telah dirancang dengan baik, dan item-itemnya juga sudah ditulis dengan cara yang benar, tetapi jika diadministrasikan atau disajikan kepada responden secara sembarangan makan akan mengahasilkan data yang tidak valid. Hal yang harus di perhatikan antara lain :Kondisi penampilan skala (validitas tampang), Kondisi subjek dan Pelaksanaan testing.
  5. Pemberian skor tidak cermat. Kecermatan skoring akan sangat menentukan kecermatan hasil ukur oleh karnanya perhatikan benar dengan cermat dan penuh kehati-hatian sehingga hasil ukurnya terhindar dari bias.
  6. Interpretasi yang keliru. Interpreatasi hasil ukur merupakan bagian dari proses diagnosis Psikologi yang sangat penting oleh karnanya jangan sampai keliru, karna jika keliru maka hal ini akan menyebabkan hasil ukur yang sia-sia.

LANGKAH-LANGKAH PENYUSUNAN SKALA PSIKOLOGI
Berikut ini adalah skema yang dapat mempermudah kita dalam memahami langkah-langkah dalam menyusun skala psikologi.



Jumat, 19 Oktober 2012

TES PSIKOLOGI




Bagi sebagian besar orang memiliki pandangan tersendiri mengenai tes Psikologi. Bisa jadi  pandangan ini terbentuk karna adanya pengalaman dan pengetahuan yang mereka ketahui sebelumnya namun agar pandangan ini lebih terarah dan lebih jelas maka saya akan paparkan beberapa informasi seputar tes Psikologi yang mungkin dapat menjadi bahan yang bermanfaat untuk kita semua.
Dari beragam pengertian tes yang ada saat ini maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa sejatinya tes mengandung pengertian :
  1. Tes adalah prosedur sistematik, artinya mulai dari penyusunan item, pelaksanaan tes dan skoring sampai dengan interpretasi hasilnya menempuh langkah-langkah yang jelas dan tertentu.
  2. Tes berisi sampel perilaku, artinya bahwa butir-butir yang tercakup di dalam tes hanyalan sebgian kecil dari keseluruhan kawasan isi sasaran ukur (variable).
  3. Tes mengukur sampel perilaku, artinya bahwa yang diukur secara langsung dengna tes adalah perilaku yang tampak, yang dianggap sebagai manifestasi atau padanan dari sasaran ukur yang sesungguhnya.

MACAM-MACAM TES PSIKOLOGI
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa ada banyak ragam tes Psikologi yang digunakan pada saat ini,namun untuk lebih mempermudah kita dapat melihat skema berikut ini :


Berikut ini adalah pengklasifikasian tes Psikologi menurut Cronbach, yaitu :
  • Maximum Performance Test , yaitu tes yang mengukur performansi maksimal (performansi atau kinerja terbaik yang mungkin ditunjukkan oleh individu). Tolak ukurnya adalah aspek kognitif.
  • Typical Performance Test, yaitu tes yang mengukur aspek tertentu dari kepribadian (aspek non kognitif).


KETERBATASAN TES PSIKOLOGI
Dalam kenyataanya tidak hanya kelebihan yang dimiliki oleh beberapa alat tes Psikologi, namun pengukuran Psikologi pun memiliki banyak masalah ataupun keterbatasan-keterbatasan yang antara lain meliputi :
  1. Sifat atribut Psikologi. Atribut Psikologi bersifat latent atau tersembunyi, sehingga tidak dapt dibandingkan secara langsung dengan alat ukurnya. Oleh karnanya agar atribu psikoli itu dapat diukur perlu dicarikan padanannya dengan variable manifest (yang tampak).
  2. Alat ukur dan cara pengukuran.Ketepatan kita dlam merumuskan kesepadanan variable manifest dengan atribut psikologisnya sangat menentukan alat ukur dan cara ukurnya.
  3. Kondisi subjek ukur. Aspek perilaku yang menjadi padanan dari atribut psikologis yang menjadi sasaran ukur selalu melekat pada individu dan tak bisa dipisahkan, dan bagaimana individu berperilaku dipengaruhi oleh kondisi individu pada saat itu.
  4. Pelaksanaan pengukuran. Hasil pengukuran dipengaruhi oleh faktor pelaksanaan pengukuran (meliputi suasana saat pengukuran, keadaan suhu dan tempat pelaksanaan).
  5. Profesionalisme pengukur. Pelaksanaan tes Psikologi menuntut prosedur yang baku, karena itu pelaksanaannya disampei dipengaruhi oleh suasana dan keadaan tempat, jugan sangat ditentukan oleh kemampuan professional tester. Kemampuan professional ini diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan khusus.

Demikian informasi seputar tes Psikologi kali ini semoga dapat bermanfaat dan menjadi masukan yang dapat memberi inspirasi baru untuk meminimalisir keterbatasan yang ada serta dapat meningkatkan aspek lain yang mungkin belum pernah disinggung oleh beberapa tes psikologi sebelumnya.

Kamis, 11 Oktober 2012

PENGUKURAN (MEASUREMENT)


Dalam kehidupan sehari-hari tanpa kita sadari ataupun tidak sebenarnya kita telah sering melakukan kegiatan pengukuran, hal ini juga yang dikembangkan dalam bidang ilmu Psikologi namun bedanya adalah objek/ atribut yang diukur, alat ukur serta prosedur pengukurannya. Ilmu pengukuran sendiri merupakan cabang dari ilmu statistika terapan yang bertujuan membangun dasar-dasar pengembangan tes agar lebih baik sehingga diharapkan dapat menghasilkan tes yang berfungsi optimal, valid serta reliable. Pada kesempatan kali ini kita akan sama-sama membahas apa itu measurement dalam pandangan Psikologi. 

DEFINISI MEASUREMENT
  • Steven, 1946 : measurement is the assignment of numerals to object or events according to rules.
  • Nunnaly, 1970 : measurement is rules for assigning numbers to objects in such a way as to represent quantities of attributes.
Jadi dapat dikatakan bahwa Pengukuran adalah suatu prosedur pemberian angka (kuantifikasi) terhadap atribut atau variable sepanjang suatu kontinum.

Sedangkan pengukuran psikologi merupakan pengukuran dengan obyek psikologis tertentu. Objek pengukuran psikologi disebut sebagai psychological attributes atau psychological traits, yaitu ciri yang mewarnai atau melandasi perilaku. Perilaku sendiri merupakan ungkapan atau ekspresi dari ciri tersebut, yang dapat diobservasi. Namun tidak semua hal yang psikologis dapat diobservasi. Oleh karena itu dibutuhkan indikator-indikator yang memberikan tanda tentang derajat perilaku yang diukur. Agar indikator-indikator tersebut dapat didefinisikan dengan lebih tepat, dibutuhkan psychological attributes / traits yang disebut konstruk (construct).
 
Konstruk adalah konsep hipotesis yang digunakan oleh para ahli yang berusaha membangun teori untuk menjelaskan tingkah laku. Indikator dari suatu konstruk psikologis diperoleh melalui berbagai sumber seperti hasil-hasil penelitian, teori, observasi, wawancara, elisitasi (terutama untuk konstruk sikap) lalu dinyatakan dalam definisi operasional.
 
Kegiatan pengukuran psikologis sering disebut juga tes. Tes adalah kegiatan mengamati atau mengumpulkan sampel tingkah laku yang dimiliki individu secara sistematis dan terstandar. Disebut “sampel tingkah laku”, karena tes hanya mendapatkan data pada waktu tertentu serta dalam kondisi dan konteks tertentu. Artinya, pada saat tes berlangsung, diharapkan data yang diperoleh merupakan representasi dari tingkah laku yang diukur secara keseluruhan. Konsekuensi dari pemahaman ini antara lain:
  • Terkadang hasil tes tidak menggambarkan kondisi pisikologis individu (yang diukur) yang sebenarnya.  
  • Hasil tes sangat dipengaruhi oleh faktor situasional seperti kecemasan akan suasana tes itu sendiri, kesehatan, keberadaan lingkungan fisik mis. ramai, panas dan sebagainya.
  • Hasil tes yang diambil pada suatu saat, belum tentu akan sama jika tes dilakukan lagi pada beberapa waktu kemudian walaupun ini merupakan isu reliabililtas. 
  • Hasil tes belum tentu menggambarkan kondisi psikologis individu dalam segala konteks.

Pada dasarnya tes terdiri dari dua jenis, yaitu:

  1. Optimal Performance test: melihat kemampuan optimal individu
  2. Typical Performance test: memuat perasaan, sikap, minat, atau reaksi-reaksi situasional individu. Tes ini sering disebut sebagai inventory test.


PERKEMBANGAN SEJARAH PENGUKURAN PSIKOLOGI
Pada awalnya, pengukuran psikologi umumnya di pengaruhi oleh ilmu fisiologi dan fisika.


  • Kontribusi Psikofisika, Psikofisika dianggap suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari hubungan kuantitatif antara kejadian-kejadian fisik dan kejadian-kejadian psikologis atau dalam arti luas yang dipelajari adalah hubungan antara stimulus dan respon. (kontribusi Thurstone mengenai “low of comparative judgment”)
  • Kontribusi Francis Galton, Sir Francis Galton adalah seorang ahli biologi yang berminat pada factor hereditas manusia dengan mendirikan laboratorium antropometri guna melakukan pengukuran ciri-ciri fisiologis.  misalnya ketajaman pendengaran, ketajaman penglihatan, kekuatan otot, waktu reaki dan lain-lain fungsi sensorimotor yang sederhana, serta fungsi kinestetik. Galton yakin bahwa ketajaman sensoris bersangkutan dengan kemampuan intelektual orang.
  • Awal Gerakan Testing Psikologi, Orang yang dianggap mempunyai kontribusi pening dalam gerakan testing psikologi adalah seorang ahli psikologi Amerika, James McKeen Cattell. Disertasinya du Universitas Leipzig mengenai perbedaan individual dalam waktu reaksi. Tes yang dikembangkan di Eropa pada akhir abad XIX cenderung meliputi fungsi yang lebih kompleks. Salah satu contohnya adalah tes Kraepelin. Tes Kraepelin berupa penggunaan operasi-operasi arithmatik yang sederhana dirancang untuk mengukur pengaruh latihan, ingatan dan kerentanan terhadap kelelahan dan distraksi. 
  • Binet dan tes intelegensi,Sebuah tes yang disusun oleh Binet dan Simon tahun 1905 disebut menghasilkan skala Binet-Simon. Skala ini terkenal dengan nama skala 1905. Skala ini pada awalnya untuk mengukur dan mengidentifikasi anak-anak yang terbelakang agar mereka mendapatkan pendidikan yang memadai. Pada skala versi kedua tahun 1908, jumlah soal ditambah. Soal-soal itu dikelomokkan menurut jenajng umur berdasar atas kinerja 300 orang anak normal berumur 3 sampai 13 tahun. Dalam berbagai adaptasi dan terjemahan istilah jenjang mental diganti dengan umur mental (mental age), dan istilah inilah yang kemudian menjadi popular.Revisi skala ketiga skala Binet-Simon diterbitkan tahun 1911, beberapa bulan setelah Binet meninggal mendadak. Pada tahun 1912, dalam Kongres Psikologi Internasional di Genewa, William Stern, seorang ahli psikologi Jerman, mengusulkan konsep koefisien Intelegensi yaitu IQ = MA/CA. Konsep ini yang dipakai dalam skala Binet yang direvisi di Universitas Stanford, yang terkenal dengan nama Skala Stanford-Binet yang diterbitkan tahun 1916, kemudian revisinya tahun 1937 dan revisi selanjutnya tahun 1960.
  • Testing Kelompok, komite psikologi yang diketuai Robert M. Yankes, menyusun instrument yang dapat mengklasifikasi individu tetapi diberikan secara kelompok. Dalam konteks semacam ini, tes intelgensi kelompok yang pertama dikembangkan. Tes yang dikembangkan oleh ahli psikologi dalam militer itu kemudian terkenal dengan nama Army Alpha dan Army Beta.
  • Pengukuran Potensial Intelektual, Karena desakan kebutuhan praktis dalam berbagai bidang misalnya dalam bidang bimbingan dan konseling, dalam pemilihan program studi, dalam penempatan karyawan, dalam analisis klinis, dan sebagainya, maka upaya pengembangan tes potensial individu khusus itu dilakukan. Kebanyakan penelitian di kalangan militer didasarkan pada analisis factor dan diarahkan kepada pengembangan multiple aptitude test batteries.
  • Tes Hasil Belajar, Pada waktu para ahli psikolog sibuk mengembangkan tes intelegensi dan tes potensial khusus, ujian-ujian tradisional di sekolah-sekolah mengalami perbaikan teknis. Terjadi pergeseran dari bentuk esai ke ujian tes objektif. Pelopor perubahan ini adalah penerbitan The Achievement Test pada tahun 1923. Dengan tes ini dapat dibuat perbandingan beberapa sekolah pada sejumlah mata pelajaran dengan menggunakan satu norma. Karakteristik yang demikian itu merupakan penerapan tes hasil belajar baku yang berlaku sampai sekarang.
  • Tes Proyektif, Pada awal abad XX kelompok psikiater dan psikolog yang berlatar belakang Psikologi Dalam di Eropa berupaya mengembangkan instrument yang dapat digunakan untuk mengungkapkan isi batin yang tidak disadari. Pelopor upaya ini adalah Herman Rorschach, seorang psikiater dari Swiss. Selama 10 tahun (1912 – 1922) Herman Rorschach mencobakan sejumlah besar gambar-gambar tak berstruktur untuk mengungkapkan isi batin tertekan pada pasiens-pasiennya. Dari sejumlah besar gambar-gambar tersebut akhirnya dipilih 10 gambar yang dibakukan, dan perangkat inilah yang kemudian terkenal dengan nama Tes Rorschach. Setelah itu sejumlah upaya dilakukan untuk mengembangkan tes proyektif yang lain, dan hasilnya antara lain Holtzman Inkbold Technique, Themaatic Apperception Test, Tes Rumah Pohon dan Orang, Tes Szondi, dan yang sejenisnya.


Dari wacana diatas membuat kita menjadi memiliki gambaran tentang bagaimana proses perkembangan alat tes Psikologi mulai dari awal hingga saat ini, semoga hal ini dapat menjadi masukan untuk kita agar dapat termotivasi untuk lebih tertarik dan banyak mencari tahu mengenai bagaimana cara membuat alat ukur Psikologi yang valid dan reliable untuk dapat di implementasikan secara baik dan benar seperti hal nya alat-alat ukur sebelumnya.


Kamis, 04 Oktober 2012

TES PRESTASI BELAJAR


Memasuki minggu ke tiga perkuliahan saya dan teman-teman kembali mendapatkan pengajaran dari Ibu dosen pengganti yang cantik dan ramah yaitu Ibu Lola, kali ini materinya cukup akrab di telinga kita yaitu mengenai Tes Prestasi belajar. Secara awam kita pasti sudah sedikit tahu yach apa sich tes prestasi belajar itu? bentuknya seperti apa? dan fungsinya kira-kira untuk apa?  Tapi tidak ada salahnya juga  kalo kita review kembali materi  tentang Tes Prestasi Belajar dari beberapa sudut pandang teori yang telah dibahas bersama selama perkuliahan dikelas supaya lebih menambah wawasan kita mengenai materi ini.

DEFINISI

  • Benyamin S Bloom dalam(Azwar, 2003) menjelaskan : Tes Prestasi Belajar adalah salah satu alat ukur hasil belajar yang dapat mencakup semua kawasan tujuan pendidikan. Ia membagi kawasan tujuan pendidikan mejadi tiga bagian, yaitu
  1. Kawasan kognitif
  2. Kawasan afektif
  3. Kawasan psikomotorik
  • Robert L. Ebel 1979 dalam (Azwar, 2003) menambahkan :  bahwa fungsi utama Tes Prestasi dikelas adalah mengukur prestasi belajar para siswa. 
  • Cronbach 1970 dalam (Azwar, 2003) menyatakan : Tes Prestasi Belajar disusun secara terencana untuk mengungkap apa yang oleh disebut sebagai performansi maksimal subjek (maximum performance).

FUNGSI TES PRESTASI BELAJAR

  1. Fungsi penempatan adalah penggunaan hasil tes prestasi belajar untuk klasifikasi individu kedalam bidang atau jurusan.
  2. Fungsi formatif adalah penggunaan tes prestasi belajar guna melihat sejauh mana kemampuan belajar yang telah dicapai oleh siswa dalam suatu program pendidikan.
  3. Fungsi diagnostik adalah penggunaan tes prestasi belajar untuk mendiagnosis kesukaran-kesukaran dalam belajar, mendeteksi kelemahan-kelemahan siswa yang dapat diperbaiki segera, dan semacamnya.
  4. Fungsi sumatif adalah penggunaan hasil tes prestasi belajar untuk memperoleh informasi mengenai penguasaan pelajaran yang telah direncanakan sebelumnya dalam suatu program pelajaran. Tes sumatif merupakan pengukuran akhir dalam suatu program dan hasilnya dipakai untuk menentukan apakah siswa dapat dinyatakan lulus dalam program pendidikan tersebut atau apakah siswa dinyatakan dapat melanjutkan ke jenjang program yang lebih tinggi.

CARA MENGUKUR PRESTASI BELAJAR

Pengukuran dilakukan  dengan mengukur tes-tes, yang biasa disebut dengan ulangan. Dalam mengevaluasi tingkat keberhasilan atau pemahaman belajardapat dilakukan melalui beberapa tes prestasi belajar antara lain :

  • Tes Formatif, penilaian ini digunakan untuk mengukur satu atau beberapa pokok bahasan tertentu yang diadakan sebelum atau selama pelajaran berlangsung dan bertujuan untuk memperoleh gambarantentang daya serap siswa terhadap pokok bahasan tersebut. Hasil tes ini dimanfaatkan untuk memperbaiki proses belajar mengajar bahan tertentu dalam waktu tertentu.
  •  Tes Subsumatif, tes ini meliputi sejumlah bahan pengajaran tertentu yangtelah diajarkan dalam waktu tertentu. Tujuannya adalah untukmemperoleh gambaran daya serap siswa untuk meningkatkan tingkatprestasi belajar siswa. Hasil tes subsumatif ini dimanfaatkan untukmemperbaiki proses belajar mengajar dan diperhitungkan dalammenentukan nilai rapor.
  • Tes Sumatif, tes ini diadakan untuk mengukur daya serap siswa terhadap bahan pokok-pokok bahasan yang telah diajarkan selama satu semesteratau satu catur wulan. Tujuannya adalah untuk menetapkan tingkat atau taraf keberhasilan belajar siswa dalam suatu perioe belajar. Hasil dari tes sumatif ini dimanfaatkan untuk kenaikan kelas, menyusun peringkat(rangking) atau sebagai ukuran mutu sekolah.
Dari beberapa pengertian di atas, ada satu benang merah yang sepertinya disepakati yaitu bahwa tes prestasi hasil belajar merupakan salah satu cara untuk menelusuri kemampuan-kemampuan yang telah dimiliki siswa setelah mengikuti proses belajar mengajar selama waktu tertentu. Meskipun tes bukanlah satu-satunya cara untuk mengungkap hasil belajar siswa, tetapi ia merupakan alat yang paling sering digunakan karena kepraktisan penggunaannya serta biaya yang murah.

Jika ditinjau dari bentuk soalnya maka tes dapat dibedakan menjadi 2 , yaitu :
Tes non obyektif, karna hasilnya dipengaruhi oleh pemberi skor. Contohnya adalah tes uraian.
Tes bentuk uraian dapat digolongkan kedalam dua bagian yaitu :

  •  Tes uraian bentuk terbuka dan tes uraian terbatas. Pada tes uraian terbuka setiap peserta tes sepenuhnya memiliki kebebasan untuk menjawab sesuai dengan yang dipikirkannya.
  • Tes uraian terbatas jawaban yang dikehendaki adalah jawaban yang sifatnya sudah dibatasi.
Tes obyektif, karna siapapun yang memeriksa hasil tes akan menunjukkan skor yang sama.
Tes bentuk obyektif memiliki model yang lebih banyak dan variatif dibandingkan tes bentuk uraian. karena itulah tes obyektif lebih sering digunakan dalam tes prestasi hasil belajar dibandingkan tes bentuk uraian. Ada beberapa penggolongan tes obyektif yaitu :

  1. Tes benar salah, adalah bentuk tes yang mengajukan beberapa pernyataan yang bernilai benar atau salah. Biasanya ada dua pilihan jawaban yaitu huruf B yang berarti pernyataan tersebut benar dan S yang berarti pernyataan tersebut salah. Tugas peserta tes adalah menentukan apakah pernyataan tersebut benar atau salah.
  2. Tes Menjodohkan,Tes menjodohkan ini memiliki satu seri pertanyaan dan satu seri jawaban. Tugas peserta tes adalah mencari pasangan setiap pertanyaan yang terdapat dalam seri pertanyaan dan seri jawaban.
  3. Tes Isian, Tes bentuk isian dapat digunakan dalam bentuk paragraph-paragraf yang merupakan rangkaian cerita atau berupa satu pernyataan. Beberapa bagian kalimatnya yang merupakan kata-kata penting telah dikosongkan terlebih dahulu. Tugas peserta tes adalah mengisi bagian-bagian yang kosong dengan jawaban yang sesuai.
  4. Tes Pilihan ganda,Tes bentuk pilihan ganda merupakan tes yang memiliki satu pemberitahuan tentang suatu materi tertentu yang belum sempurna serta beberapa alternatif jawaban yang terdiri dari kunci jawaban dan pengecoh. Tugas peserta tes adalah memilih jawaban dari pilihan yang tersedia dan paling sesuaia dengan pernyataan yang ada dalam soal.
Dari beberapa bentuk tes yang tersedia, tidak semuanya dapat digunakan secara bersamaan dalam satu kesempatan. Ada beberapa pertimbangan yang diperlukan untuk memilih bentuk tes yang paling sesuai. Menurut Djemari Mardapi (2004: 73) pemilihan bentuk tes yang tepat ditentukan oleh tujuan tes, jumlah peserta, waktu yang tersedia untuk pemeriksaan lembar jawaban, cakupan materi tes dan karakteristik mata pelajaran yang diujikan.

 
MANFAAT MODEL BELAJAR MENGAJAR

  1. Guru memperoleh gambaran tentang sasaran belajar apa yang akan diutamakan.
  2. Membantu guru merumuskan perilaku siswa yang diharapkan dan yang dapat diukur atau dinilai.
  3. Membantu guru mengembangkan cara dan alat evaluasi kegiatan belajar.
  4. Menyusun rencana pendidikan.
  5. Menyusun tugas-tugas belajar siswa menjadi suatu keseluruhan yang terpadu.

JENIS-JENIS TAKSONOMI (model belajar mengajar)
Taksonomi Bloom
Dibuat pertama kali oleh Benjamin S. Bloom tahun 1956.Dalam hal ini tujuan pendidikan dibagi menjadi beberapa domain, yaitu: Cognitive Domain (aspek intelektual), Affective Domain (aspek emosi dan perasaan), dan Psychomotor Domain (aspek keterampilan motorik).

Bloom membagi kemampuan kognisi manusia ke dalam 6 tingkatan:

Tingkat Pengetahuan (Knowledge Level)
Merumuskan, mengingat, menyebutkan, menghafal, menunjukkan.
Dapat mengenal, mengingat dan mereproduksi bahan pengetahuan atau pelajaran yang telah diberikan.

Tingkat Pemahaman (Comprehension Level)
Menjelaskan, mendiskusikan, melaporkan, meninjau, merangkum.
kemampuan untuk memahami materi atau gagasan yang diberikan. Dikenali dari kemampuan membaca diagram, tabel, gambaran, arahan, laporan, dsb.

Tingkat Aplikasi/Penerapan (Application Level)
Menggunakan, mengerjakan, menghitung, membuat grafik.
menggunakan hal-hal yang abstrak untuk situasi yang khusus atau konkret.

Tingkat Analisis (Analythical Level)
Membedakan, menguji, menggolongkan, menyusun.
menguraikan suatu materi atau bahan yang diberikan menjadi unsur-unsur atau bagian-bagian sehingga kedudukan atau hubungan antarunsur atau bagian yang diungkapkan menjadi jelas.

Tingkat Sintesis (Synthesis Level)
Merancang, menggabungkan, menambah, membangun, mengelola
Menyusun bagian-bagian sehingga membentuk keseluruhan.

Tingkat Evaluasi (Evaluation Level)
Menilai, memilih, memutuskan, menentukan prioritas, mempertentangkan.
Memberi pertimbangan mengenai nilai dari bahan dan metode-metode untuk tujuan tertentu.


Taksonomi Struktur Intelek Guilford
Dalam model Guilford ini kemampuan manusia disusun dalam suatu sistem yang disebut “struktur intelek” (membedakan ada 120 kemampuan intelek).
Model struktur intelek manusia dapat digambarkan sebagai suatu kubus terdiri dari tiga matra (dimensi) intelektual, yaitu operasi (proses), konten (materi) dan produk.
Jadi, ada 5 kategori operasi, 4 kategori materi, dan 6 kategori produk → 5 x 4 x 6 = 120

Taksonomi Perilaku Kognitif Afektif Williams
Model 3 dimensional dari Williams dirancang untuk membantu guru menentukan tugas-tugas di dalam kelas yang berkenaan dengan :

  • Dimensi kurikulum (materi/konten), meliputi mata pelajaran yang biasanya terdapat dalam kurikulum.
  • Perilaku siswa (kegiatan belajar), meliputi 18 strategi sebagai cara untuk mencapai perilaku siswa.
  • Perilaku guru (strategi/cara mengajar), merupakan proses-proses yang diperlukan untuk mengembangkan bakat kreatif anak.

Taksonomi Sasaran Pendidikan (Afektif) Kratwohl
Konsep dari taksonomi adalah bersifat sasaran afektif, bagaimana sikap siswa terhadap suatu mata pelajaran tertentu, sejauh mana ia dapat menerima dan menghargai apa yang diajarkan oleh guru, nilai-nilai yang dianutnya, dan ada yang menjadi pedoman dalam hidupnya. Semuanya membawa dampak terhadap cara belajar dan hasil belajar.

Wah seru sekali yach pembahasan materinya, namun rasanya akan lebih seru lagi jika kita dapat melengkapi pemahaman materi ini dengan pengalaman pengaplikasian yang tepat. Untuk itu tidak ada salahnya kita menyisihkan waktu luang untuk membaca beragam macam artikel untuk menambah wawasan dan  sebagai penutup sedikit kalimat yang saya berikan kali ini semoga dapat memotivasi kita semua “ Banyak belajar, banyak tahu, banyak ilmu dan banyak berguna bagi sekitarmu!”